Rabu, 15 Februari 2017

Historis

1. Awal Masa Penerbitan periode 2007-2010
2. Periode 2010-2014
3. Periode 2015-2016
4. Periode 2017-sekarang


Seratus buku UNP Press (pdf)

Biaya Penerbitan

Silahkan dilihat: Model Bisnis Penerbitan dan Percetakan (pdf)

ISBN


Biaya Percetakan

Silahkan dilihat: Model Bisnis Penerbitan dan Percetakan (pdf)

Kontak

Kontak HP Person:
Sekretariat :      1.  Tarmizi:  Hp. 085263693264
                         2.   Lili. Hp:  Hp. 08126639262

Kontak Email:
Nasbahry Couto     :   nasbahry.couto@gmail.com
                                   nasbahry.couto@yahoo.co.id
Tarmizi                  :   tarmizi.mipaunp@gmail.com



Kontak ke Universitas

Produk


BLU

Silahkan dilihat: Model Bisnis Penerbitan dan Percetakan (pdf)


Polemik BLU:
Menjadi Perguruan Tinggi atau Badan Layanan Umum?

Peraturan Presiden No. 44 tahun 2012 telah menyatakan bahwa PT sah menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Di dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa PT sebagai Perguruan Tinggi menyelenggarakan tridarma perguruan tinggi, melakukan pendidikan akademik dan profesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun hingga pasal 3 ayat 3 kita temukan pernyataan bahwa, “PT menerapkan pola pengelolaan uang badan layanan umum.”

Liberalisasi pendidikan adalah upaya “pembebasan” lembaga atau badan pendidikan agar dapat bersaing lebih terbuka dalam pasar global. Liberalisasi menempatkan pendidikan layaknya komoditas dagang yang selayaknya mampu bersaing dengan komoditas lain. Titik tekannya ada pada intervensi lembaga atau manajemen organisasi dan pola pengelolaan keuangan. Padahal, hakekat pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pernyataan ini terpatri kuat dalam preambule Undang-undang Dasar 1945, konstitusi negara Indonesia.
  
Lalu, bagaimanakah pola pengelolaan uang Badan Layanan Umum (BLU)?

Dalam pasal 1 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, disebutkan bahwa Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efesiensi dan produktivitas.

Meski dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising BLU tertuang dalam pasal 69 ayat (6) UU No.1 tahun 2004 bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud ini dapat diperoleh dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan. Tanggal 13 Juni 2005 pemerintah menetapkan BLU diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.

Kenyataan hari ini adalah kebutuhan negara semakin meningkat, sedang sumber dana tidak memiliki kecepatan yang bersaing. Ditambah fakta bahwa hutang Indonesia sudah tidak perlu dipupuk lebih rajin lagi, membuat pemerintah kita harus memutar otaknya lebih keras, atau mungkin sedikit lebih keras. Hingga salah satu langkah besar yang diambil adalah reformasi keuangan dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja. Sehingga dana yang dikucurkan akan lebih diprioritaskan untuk membiayai sesuatu yang menghasilkan sesuatu lainnya, daripada membiayai saja, titik.

Paradigma inilah yang sedang diciptakan, yakni mewiraswastakan pemerintah (enterprising government). Sebenarnya, praktek ini telah berkembang di beberapa negara yang dilakukan dengan upaya pengagenan (agencification), yaitu aktivitas yang harus dilakukan birokrat murni, tetapi dilakukan oleh instansi yang dikelola seperti bisnis (business like).

Ketentuan mengenai pembentukan dan tujuan Badan Layanan Umum, pengelolaan keuangannya adalah sebagai berikut:
  1. Badan Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
  2. Kekayaaan Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
  3. Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerinah pusat dilakukan oleh Menteri Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh Menteri yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
  4. Pembinaan keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
 Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan, dengan ketentuan:
  1. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementrian Negara/Lembaga/pemerintah daerah.
  2. Pendapatan dan Belanja BLU dalam rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementrian Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan.
  3. Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.
  4. BLU dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
  5. Pendapatan BLU sehubungan dengan pemberian jasa layanan dan hibah/sumbangan dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan.
  6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam PP No. 23/2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.
 Apakah kelebihan serta kekurangan dengan pola pengelolaan keuangan BLU?

Max Weber menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua tinjauan peranan penting. Pertama, yakni berfungsi sebagai regulator dan administrator, ditinjau dari mechanic view. Kedua, berfungsi sebagai public service agency dan investor yang dinamis, ditinjau dari organic view. Idealnya, kedua tinjauan ini terlaksana secara simultan.

Namun dalam mencapai kondisi ideal ini, masyarakat Indonesia terlanjur memiliki persepsi bahwa pemerintah merupakan organisasi birokratis, tidak efisien, tidak efektif, dan lambat. Karena pada kenyataannya masyarakat memang sering dihadapkan pada birokrasi kompleks pemerintah. Bahkan birokrasi kompleks tersebut (pada beberapa instansi) telah melahirkan mata pencaharian baru, yaitu sebagai calo. Praktek percaloan ini tak jauh beda dengan praktek suap menyuap, kolusi, korupsi, dan extraordinary crime lainnya. Kerancuan dalam pengelolaan timbul manakala PP No. 23 tahun 2005 terbit dan banyak dari isinya bertentangan dengan UU No.1 tahun 2004, pendahulunya. Beberapa pertentangan tersebut antara lain:

Pertama, pola pengelolaan kas BLU sebenarnya menghambat proses pembentukan Treasury Single Account sebagaimana diamanatkan UU Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan pasal 16 PP 23 tahun 2005, “BLU menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan itu antara lain: merencanakan penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan, menyimpankan dan mengelola rekening bank, melakukan pembayaran, mendapatkan sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek, dan memanfaatkan surplus kas jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.” Aturan ini menjadi kelihatan tidak beres setelah dibandingkan dengan pasal 12 ayat (2) dan pasal 13 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan perbendaharaan negara menyebutkan bahwa, “Semua penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Negara/Daerah”.

Kedua, BLU dapat menggunakan surplus anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut. Hal ini dengan gamblang disebutkan dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 yaitu “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU”. Jika dibandingkan dengan pasal 3 UU Keuangan Negara, maka aturan mengenai surplus BLU tersebut telah menganakemaskan BLU sehingga tidak tercermin adanya keadilan.
Pasal 3 ayat (7) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”. Selanjutnya pada ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus angaran ini menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.

Ketiga, keberadaan BLU sebagai bukan subjek pajak telah melanggar UU No. 7 tahun 1983 UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa “Pendapatan BLU dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak pemerintah daerah”. Beberapa penggagas BLU juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Badan atas sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena BLU bukan subjek pajak.
Apabila keberadaan BLU memang demikian adanya, maka telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 2 UU PPh. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa “Subjek pajak adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap.” Selanjutnya terminologi badan jelaskan bahwa “Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.”
PPh merupakan pajak subjektif sehingga yang diperhatikan terlebih dahulu adalah kewajiban subjektifnya. Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa badan merupakan salah satu subjek pajak, maka seharusnya BLU juga merupakan subjek pajak. Apabila BLU dikatakan bukan subjek pajak maka hal ini perlu dikonfrontir dengan pasal 3 UU PPh. Jadi berdasarkan aturan PPh, BLU secara mutlak adalah subjek pajak.

Kesimpulannya, pola pengelolaan keuangan BLU ini memiliki tujuan yang baik. Namun karena berbenturan keras dengan realita bangsa ini, maka implementasi pola pengelolaan keuangan ini justru dapat melegalkan praktek-praktek pencaloan seperti yang telah disebutkan di awal. Ditambah lagi, PP tentang BLU banyak bertentangan dengan UU yang tingkatannya lebih tinggi dari PP.
  
Lantas bagaimana solusi terhadap pertentangan PP tentang BLU ini?

Peraturan mengenai BLU telah ditetapkan pada tingkatan Undang-undang (UU), namun terdistorsi pada tingkatan Peraturan Pemerintah. Maka, PP 23 tahun 2005 tersebut harus dicabut dan direvisi substansinya. Substansi penting yang harus diperhatikan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah mengenai BLU harus sesuai dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik. Asas-asas sesuai dengan amanat UU Keuangan Negara antara lain: akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas; keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; dan pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Dengan berbekal asas-asas inilah kemudian disusun suatu aturan yang mencerminkan penganggaran berbasis kinerja tanpa melanggar ketentuan hukum lainnya.


 Referensi:
  • Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum
  • Badan Layanan Umum adalah Pengakuan Dosa oleh Wirawan Purwa Yuwana
  • Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU) Berdasarkan Undang-Undang No.1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara oleh Vista Primaningsih
  • Sumber utama: https://web.facebook.com/notes/ratna-nataliani/jadi-perguruan-tinggi-atau-badan-layanan-umum/10150688075162694/?_rdr