Polemik BLU:
Menjadi Perguruan Tinggi atau Badan
Layanan Umum?
Peraturan Presiden No. 44 tahun 2012 telah menyatakan bahwa PT sah menjadi Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh
Pemerintah. Di dalam Perpres tersebut dinyatakan bahwa PT sebagai Perguruan Tinggi
menyelenggarakan tridarma perguruan tinggi, melakukan pendidikan akademik dan
profesi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun hingga pasal 3 ayat 3
kita temukan pernyataan bahwa, “PT menerapkan pola pengelolaan
uang badan layanan umum.”
Liberalisasi pendidikan adalah upaya “pembebasan” lembaga atau badan
pendidikan agar dapat bersaing lebih terbuka dalam pasar global. Liberalisasi
menempatkan pendidikan layaknya komoditas dagang yang selayaknya mampu bersaing
dengan komoditas lain. Titik tekannya ada pada intervensi lembaga atau
manajemen organisasi dan pola pengelolaan keuangan. Padahal, hakekat
pendidikan adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pernyataan ini terpatri
kuat dalam preambule Undang-undang Dasar
1945, konstitusi negara Indonesia.
Lalu, bagaimanakah pola pengelolaan uang
Badan Layanan Umum (BLU)?
Dalam pasal 1 UU No.1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, disebutkan
bahwa Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di
lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada
prinsip efesiensi dan produktivitas.
Meski dibentuk tidak untuk mencari keuntungan, akan tetapi letak enterprising BLU tertuang dalam pasal 69 ayat (6) UU
No.1 tahun 2004 bahwa pendapatan BLU dapat digunakan langsung untuk membiayai
belanja BLU yang bersangkutan. Pendapatan yang dimaksud ini dapat diperoleh
dari hibah, sumbangan, atau sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan.
Tanggal 13 Juni 2005 pemerintah menetapkan BLU diatur lebih lanjut dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum.
Kenyataan hari ini adalah kebutuhan negara semakin meningkat, sedang sumber
dana tidak memiliki kecepatan yang bersaing. Ditambah fakta bahwa hutang
Indonesia sudah tidak perlu dipupuk lebih rajin lagi, membuat pemerintah kita
harus memutar otaknya lebih keras, atau mungkin sedikit lebih keras. Hingga salah satu langkah besar yang
diambil adalah reformasi keuangan dari
penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja. Sehingga dana yang
dikucurkan akan lebih diprioritaskan untuk membiayai sesuatu yang menghasilkan
sesuatu lainnya, daripada membiayai saja, titik.
Paradigma inilah yang sedang diciptakan, yakni mewiraswastakan pemerintah (enterprising
government). Sebenarnya, praktek ini telah berkembang di beberapa negara yang
dilakukan dengan upaya pengagenan (agencification), yaitu aktivitas
yang harus dilakukan birokrat murni, tetapi dilakukan oleh instansi yang
dikelola seperti bisnis (business like).
Ketentuan mengenai pembentukan dan tujuan Badan Layanan Umum, pengelolaan
keuangannya adalah sebagai berikut:
- Badan
Layanan Umum dibentuk untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
- Kekayaaan
Badan Layanan Umum merupakan kekayaan negara/daerah yang tidak dipisahkan
serta dikelola dan dimanfaatkan sepenuhnya
untuk menyelenggarakan kegiatan Badan Layanan Umum yang bersangkutan.
- Pembinaan
keuangan Badan Layanan Umum pemerinah pusat dilakukan oleh Menteri
Keuangan dan pembinaan teknis dilakukan oleh Menteri yang bertanggung
jawab atas bidang pemerintahan yang bersangkutan.
- Pembinaan
keuangan Badan Layanan Umum pemerintah daerah dilakukan oleh pejabat
pengelola keuangan daerah dan pembinaan teknis dilakukan oleh kepala
satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab atas bidang
pemerintahan yang bersangkutan.
Setiap BLU wajib menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan, dengan
ketentuan:
- Rencana
kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan
disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementrian
Negara/Lembaga/pemerintah daerah.
- Pendapatan
dan Belanja BLU dalam rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana
dimaksud dikonsolidasikan dalam rencana kerja dan anggaran Kementrian
Negara/Lembaga/pemerintah daerah yang bersangkutan.
- Pendapatan yang diperoleh BLU sehubungan dengan
jasa layanan yang diberikan merupakan Pendapatan Negara/Daerah.
- BLU
dapat memperoleh hibah atau sumbangan dari masyarakat atau badan lain.
- Pendapatan BLU sehubungan dengan pemberian jasa
layanan dan hibah/sumbangan dapat digunakan langsung untuk membiayai
belanja BLU yang bersangkutan.
- Ketentuan
lebih lanjut mengenai pengelolaan keuangan BLU diatur dalam PP No. 23/2005
tentang Pengelolaan Badan Layanan Umum.
Apakah kelebihan serta kekurangan
dengan pola pengelolaan keuangan BLU?
Max Weber menyatakan bahwa pemerintah memiliki dua tinjauan peranan
penting. Pertama, yakni berfungsi sebagai regulator dan administrator, ditinjau
dari mechanic view. Kedua, berfungsi
sebagai public service agency dan investor yang
dinamis, ditinjau dari organic view. Idealnya, kedua
tinjauan ini terlaksana secara simultan.
Namun dalam mencapai kondisi ideal ini, masyarakat Indonesia terlanjur
memiliki persepsi bahwa pemerintah merupakan organisasi birokratis, tidak efisien,
tidak efektif, dan lambat. Karena pada kenyataannya masyarakat memang sering
dihadapkan pada birokrasi kompleks pemerintah. Bahkan birokrasi kompleks
tersebut (pada beberapa instansi) telah melahirkan mata pencaharian baru, yaitu
sebagai calo. Praktek percaloan ini tak jauh beda dengan praktek suap menyuap,
kolusi, korupsi, dan extraordinary crime lainnya. Kerancuan
dalam pengelolaan timbul manakala PP No. 23 tahun 2005 terbit dan banyak dari
isinya bertentangan dengan UU No.1 tahun 2004, pendahulunya. Beberapa
pertentangan tersebut antara lain:
Pertama, pola pengelolaan kas BLU
sebenarnya menghambat proses pembentukan Treasury Single Account sebagaimana
diamanatkan UU Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan pasal 16
PP 23 tahun 2005, “BLU menyelenggarakan
kegiatan-kegiatan pengelolaan kas. Kegiatan itu antara lain: merencanakan
penerimaan dan pengeluaran kas, melakukan pemungutan pendapatan atau tagihan,
menyimpankan dan mengelola rekening bank, melakukan pembayaran, mendapatkan
sumber dana untuk menutup defisit jangka pendek, dan memanfaatkan surplus kas
jangka pendek untuk memperoleh pendapatan tambahan.” Aturan ini
menjadi kelihatan tidak beres setelah dibandingkan dengan pasal 12 ayat (2) dan
pasal 13 ayat (2) UU Perbendaharaan Negara. Ketentuan
perbendaharaan negara menyebutkan bahwa, “Semua
penerimaan dan pengeluaran negara/daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum
Negara/Daerah”.
Kedua, BLU dapat menggunakan surplus
anggarannya untuk kepentingan BLU tersebut. Hal ini dengan gamblang
disebutkan dalam pasal 29 PP 23 tahun 2005 yaitu “Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran
berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan/gubernur/bupati/walikota,
sesuai dengan kewenangannya, disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum
Negara/Daerah dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU”. Jika dibandingkan
dengan pasal 3 UU Keuangan Negara, maka aturan mengenai surplus BLU tersebut
telah menganakemaskan BLU sehingga tidak
tercermin adanya keadilan.
Pasal 3 ayat (7) UU Keuangan Negara menyebutkan bahwa “Surplus penerimaan/negara dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara/daerah tahun anggaran berikutnya”. Selanjutnya pada
ayat berikutnya dijelaskan “Penggunaan surplus penerimaan
negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7) untuk membentuk dana cadangan
atau penyertaan Perusahaan Negara/Daerah harus memperoleh persetujuan terlebih
dahulu dari DPR/DPRD”. Berdasarkan ketentuan ini dapat diketahui bahwa kaidah perlakuan surplus
adalah dimanfaatkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Peruntukan lain
terhadap surplus anggaran ini harus memperoleh persetujuan DPR/DPRD. Perbandingan kedua aturan yang mengatur surplus angaran ini
menunjukkan bahwa BLU memiliki daya tawar keuangan yang lebih tinggi
dibandingkan Perusahaan Negara/Daerah.
Ketiga, keberadaan BLU sebagai bukan
subjek pajak telah melanggar UU No. 7 tahun 1983 UU No. 17
tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Pada pasal 14 PP 23 tahun 2005 dijelaskan bahwa “Pendapatan BLU dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak
kementrian/lembaga atau pendapatan negara bukan pajak pemerintah daerah”. Beberapa penggagas BLU
juga menyatakan bahwa BLU dibebaskan dari kewajiban membayar PPh Badan atas
sisa anggaran atau hasil usaha/nilai tambah karena BLU bukan subjek pajak.
Apabila keberadaan BLU memang demikian adanya, maka telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 2 UU PPh. Dalam ketentuan
tersebut dinyatakan bahwa “Subjek pajak adalah orang
pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan, menggantikan yang berhak;
badan; dan bentuk usaha tetap.” Selanjutnya terminologi badan jelaskan
bahwa “Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan
usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk
apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang
sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.”
PPh merupakan pajak subjektif sehingga yang diperhatikan terlebih dahulu
adalah kewajiban subjektifnya. Sebagaiman dijelaskan diatas bahwa badan
merupakan salah satu subjek pajak, maka seharusnya BLU juga merupakan subjek
pajak. Apabila BLU dikatakan bukan subjek pajak maka hal ini perlu dikonfrontir
dengan pasal 3 UU PPh. Jadi berdasarkan aturan PPh, BLU
secara mutlak adalah subjek pajak.
Kesimpulannya, pola pengelolaan
keuangan BLU ini memiliki tujuan yang baik. Namun karena berbenturan keras
dengan realita bangsa ini, maka implementasi pola pengelolaan keuangan ini
justru dapat melegalkan praktek-praktek pencaloan seperti yang telah disebutkan
di awal. Ditambah lagi, PP tentang BLU banyak bertentangan dengan UU yang
tingkatannya lebih tinggi dari PP.
Lantas bagaimana solusi terhadap
pertentangan PP tentang BLU ini?
Peraturan mengenai BLU telah ditetapkan pada tingkatan Undang-undang (UU),
namun terdistorsi pada tingkatan Peraturan Pemerintah. Maka, PP 23 tahun 2005
tersebut harus dicabut dan direvisi substansinya. Substansi penting yang harus
diperhatikan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah mengenai BLU harus sesuai
dengan asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik. Asas-asas sesuai dengan amanat UU Keuangan Negara antara lain:
akuntabilitas berorientasi pada hasil; profesionalitas; proporsionalitas;
keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara; dan pemeriksaan keuangan oleh
badan pemeriksa yang bebas dan mandiri. Dengan berbekal asas-asas inilah
kemudian disusun suatu aturan yang mencerminkan penganggaran berbasis kinerja
tanpa melanggar ketentuan hukum lainnya.
Referensi:
- Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Badan Layanan
Umum
- Badan Layanan Umum adalah Pengakuan Dosa oleh Wirawan Purwa Yuwana
- Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(BLU) Berdasarkan Undang-Undang No.1/2004 Tentang Perbendaharaan Negara oleh Vista Primaningsih
- Sumber utama: https://web.facebook.com/notes/ratna-nataliani/jadi-perguruan-tinggi-atau-badan-layanan-umum/10150688075162694/?_rdr